Rabu, 28 Januari 2009

Industri Properti bertahan Di Krisis Global

Industri Properti bertahan Di Krisis Global

 

 

Tahun 2009 sudah telanjur diperkirakan banyak kalangan sebagai tahun krisis ekonomi global, sebagai dampak dari resesi ekonomi yang dialami Amerika Serikat dan Eropa. Secara makro, pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan mengalami perlambatan.

 

Ekonomi Indonesia sendiri tahun ini diperkirakan sulit untuk bisa tumbuh di atas 5,5 persen. Sementara, mengharapkan kontribusi dari kegiatan investasi asing, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung melalui portofolio di pasar modal dan industri keuangan, sulit untuk bisa direalisasikan pada tahun 2009.

 

Satu-satunya yang bisa menggerakkan kegiatan investasi di dalam negeri adalah proyek pembangunan, baik yang dibiayai oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Namun,penyakit lama birokrasi (pemberian komisi dan penggelembungan nilai proyek/mark up) serta kuatnya pengaruh kepentingan politik berpotensi menghambat pelaksanaan proyek pembangunan tersebut

 

Proyek pemerintah baik yang didanai dari paket stimulus ekonomi atau anggaran pemda juga rawan untuk diselewengkan oleh kelompok kepentingan tertentu menjelang pemilihan umum tahun 2009.

 

Dalam situasi seperti ini, para pelaku usaha termasuk mereka yang bergerak di sektor properti cenderung bersikap wait and see. Jika mengacu pada Pemilu 2004, banyak kalangan berharap agar pelaksanaan pesta demokrasi tahun ini juga bisa berjalan dengan aman dan lancar.

 

Para pengusaha termasuk para pengembang umumnya mengharapkan agar siapa pun yang akan memimpin negeri ini bisa tetap menjaga iklim usaha yang kondusif, menegakkan aturan usaha secara adil, dan bisa menjaga stabilitas keamanan dengan baik.

 

Harapan itu memang belum tentu bisa menjadi kenyataan, bahkan sangat boleh jadi bisa membuahkan kekecewaan. Oleh karena itu, para pengusaha saat ini lebih mengutamakan konsolidasi ke dalam ketimbang melakukan ekspansi usaha dengan menjaga agar arus kas (cashflow) perusahaan masing-masing bisa dikelola dengan baik.

 

Secara mental, seharusnya para pengusaha properti bisa lebih tahan menghadapi krisis dan tantangan yang akan dihadapi tahun ini karena pengalaman krisis ekonomi tahun 1998 telah memberikan banyak pelajaran berharga kepada mereka.

 

Pada saat dihantam badai krisis ekonomi sepuluh tahun lalu, industri properti di Indonesia termasuk salah satu industri yang pertama kali terkena dampaknya. Ketika itu banyak kalangan yang memperkirakan industri properti akan lama untuk bisa pulih kembali. Namun, ternyata pada tahun 2001 atau setelah aset properti yang ada di Badan Penyehatan Perbankan Nasiona) (BPPN) dijual kembali, industri ini kembali bergairah.

 

Belajar dari pengalaman krisis pula, konsumen dan investor di sektor properti sudah mulai cerdas dalam memilih dan membeli produk yang ditawarkan pengembang. Sesuai dengan levelnya masing-masing, konsumen juga memiliki strategi dan cara sendiri-sendiri dalam menginvestasikan dana mereka.

 

Komitmen pemerintah

 

Sekarang yang patut mendapat perhatian pemerintah adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). terutama mereka yang memiliki penghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan. Subsidi perumahan untuk lapisan MBR seharusnya bisa benar-benar direalisasikan tahun ini. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2009, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 2,5 triliun untuk sektor perumahan, atau naik dari anggaran tahun lalu yang hanya sebesar Rp 800 miliar.

 

Komitmen pemerintah terhadap sektor perumahan ini sebaiknya tidak hanya sekadar tercermin dari besarnya angka yang tertera dalam APBN, tetapi anggaran tersebut benar-benar harus bisa diserap pasar dan dapat digunakan sesuai peruntukannya

 

Oleh karena itu, seluruh pemangku kepentingan di sektor perumahan hendaknya juga bisa ikut memberdayakan MBR. Keinginan pemerintah untuk menyediakan papan bagi masyarakat bawah hendaknya tidak sekadar jargon, tetapi benar-benar harus dibuktikan secara nyata. Sebab kalau tidak direalisasikan, peningkatan anggaran untuk sektor perumahan dalam APBN tahun 2009 akan dinilai sebagai bagian dari "janji politik" saja.

 

Rencana pemerintah untuk menempatkan dana Bapertarum sebesar Rp 2 triliun dan dana Jamsostek Rp 1 triliun di Bank Tabungan Negara (BTN) sebaiknya juga bisa segera dilaksanakan agar bank BUMN yang fokus terhadap sektor perumahan ini memiliki kekuatan lebih besar lagi untuk bisa menyalurkan kredit bagi kalangan MBR.

 

Di luar lapisan MBR, konsumen properti dan perumahan saat ini masih menghadapi masalah suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang tinggi, yakni 13-15 persen per tahun. Meski tingkat suku bunga bank menunjukkan kecenderungan menurun setelah Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 8,75 persen, namun suku bunga KPR belum turun secara signifikan.

 

Sejalan dengan penurunan BI Rate, sebagian perbankan mulai menurunkan suku bunga kredit rata-rata antara 0,5 persen dan 1 persen. Namun, besaran penurunan suku bunga kredit ini tidak banyak berarti bagi konsumen maupun pengembang karena persoalan utama dunia perbankan belum teratasi secara tuntas, yakni keterbatasan likuiditas.

 

Persoalan yang akan menghadang industri properti pada tahun ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat maupun dunia usaha. Pengalaman dan masalah yang telah dan akan dihadapi negeri ini diharapkan akan membuat semua pihak menjadi semakin matang dan dewasa. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar